Jumat, 28 Februari 2014

Track0-Hell o College Ward!

Mungkin kalo temen2 pernah memulai belajar programming di sekolah, saya yakin 67,85% program pertama yang temen2 buat adalah “Hello World”, jangan lupa tanda pentung nya! (mungkin kalo orang Medan tanda pentungnya ada 3!!! -peace lae! haha). Tapi kok harus hello world ya? Klo saya jadi editor penerbit arlanggai ato yubisthira, saya bakalan buat hello world tadi jadi “hello college world!” Tanya kenapa?eiits, ini bukan iklan rokok, hehe.. jawabannya ntar ya..
Banyak banget hal-hal yang terjadi di dunia kuliah. dan kalo menurut saya, waktu perkuliahan ini jadi masa2 dimana anak SMA jadi anak S1, tempat dimana anak geng motor sekolahan rela belajar matematika di teknik, transformasi cewe culun SMA jadi keliatan “keibuan” setelah make jilbab dan kacamata kotak gede trus bawa buku tebel khas fakultas kedokteran, dan tempat dimana cewe SMA B3 (BlackBerry, Behel, BelTeng-Belah Tengah) jadi makin tinggi belahan rok nya setelah masuk ekonomi.
Hehehe, bercandaa.. tapi ya kebanyakan gitu siih
Balik ke pernyataan pertama saya, kenapa malah pembelajaran pemrograman harus dimulai dengan hello college world? Menurut Wangsa Saputra, ilmuwan sunsilk selain Thomas taw dan jamal hamadi, kuliah adalah titik cut-off dunia anak2 dan dunia dewasa seorang manusia. Widiih berbobot bgt.. disini temen2 bakalan dapat 69% ilmu yang akan temen2 pake selama hidup. Jadi salah besar kalo ada mahasiswa yang bilang pelajaran yang didapet di dunia perkuliahan ini Cuma untuk kerja di perusahaan gede, ato jadi dosen. Cara kamu nembak cewe, cara kamu download game gratis, cara kamu belajar h-1 sebelum ujian, pandangan kamu terhadap kenaikan BBM, solusi buat ngilangin kemacetan di Jakarta, dan cara kamu gedein anak bakalan kamu pikirin di dunia kuliah ini.
Yaa kalo disingkat sih jadinya dunia perkuliahan ini jadi tempat kamu mencari jati diri. nah paradigm kaya gini nih penting juga buat ditanemin sejak SMA, biar anak2 yang nanti nya mau masuk kuliah ga sebatas pengen pamer almamater doang.. jangan rumus cepat sama try out doang yang digodok ke anak kelas 3, biar pas udah masuk kuliah, mahasiswa baru ga kaku, ga hanya pengen belajar textbook trus, tapi sekali sekali ngembangin karakter dia nya juga lewat kegiatan sehari hari,  ya gak? Misalnya main DOTA sama PES..
Faktanya, banyak anak-anak pra kuliah yang belum ngerti masalah kaya gini karena terlalu sibuk beli brownies buat guru nya. Yaa tau lah, skarang kan zamannya pake nilai rapor buat masuk kuliah, hehehe.. di awal perkuliahan pun banyak yang belum sadar pentingnya kegiatan tambahan selain kuliah. Cuma yang pengen eksis aja yang biasanya ikut-ikutan macem2. Hasilnya? Setahun kemudian setelah si doi aktif di komunitasnyaaa, eh penampilan, gaya bicaranya, dan pemikirannya udah beda dengan kita-kita yang lebih banyak ngabisin waktu di kos buat PES dan nyeduh indomi. Kadang-kadang bikin kita iri juga sih, soalnya dia jadi banyak temen, makin pinter, dan tau tau udah bawa piala menang lomba.
Nah trus kita-kita yang iri ini akhirnya pengen masuk komunitas juga buat ngembangin diri, tapi malah jadi susah. Soalnya yang daftar bareng kita itu junior kita, dan lebih parah lagi, pemikiran mereka juga lebih oke dari pemikiran kita.. makin minder deh. Dan akhirnya, kita tuh kaya terjebak di tower rapunzel. Mau nyoba keluar, tapi susah banget, ya mending nikmatin aja kesendirian kita di kos. Sendirian. Liat yang lain berkembang. Sendirian. Jomblo. Kasian gat uh? Makanya jangan kuper gan, jadi orang terbuka, suatu saat kamu juga bakalan dapat komunitas yang bermanfaat buat kamu dan orang di luar komunitas mu kok, pede ajaa..
Nah, Buat temen2 yang pengen masuk kuliah, nih saya bocorin 5 jenis mahasiswa yang bakal sering kalian temuin, dan juga efeknya terhadap perubahan karakter temen2 klo misalnya keseringan deket sama si doi. Tapi di tulisan yang selanjutnya yak.. babaay,





Track1 - Kata mereka, mereka mahasiswa negarawan

Definisi negarawan muda Indonesia menjadi sulit diartikan ketika kita melihat dari sudut pandang mahasiswa zaman sekarang. Padahal idealnya, mahasiswa merupakan sosok terpelajar. Pernyataan saya ini bukan berarti merendahkan tingkat intelektual mahasiswa zaman sekarang, tapi yang saya perhatikan adalah terjadinya banyak kerancuan dalam pemikiran mahasiswa. Mengapa tidak? Zaman sekarang banyak media informasi yang dapat diakses dengan mudah dan gratis oleh para mahasiswa, yang mungkin belum jelas kebenarannya, sehingga mahasiswa seringkali memilih opsi yang paling mudah dan nyaman untuk diri mereka sendiri.
Kembali lagi ke pernyataan awal saya. Berbagai macam pola pikir mahasiswa muncul, sehingga sulit mendefinisikan maksud kata negarawan. Kita tahu bahwa istilah seperti ini tidak diajarkan di dunia perkuliahan. Dan, kebanyakan mahasiswa mengenal istilah ini dari kegiatan diluar akademik, termasuk dari komunitas. Yang terjadi di lapangan adalah, perbedaan pemikiran-pemikiran dan idealism golongan menjadi hal yang sangat menonjol di komunitas mahasiswa. Hal ini dapat dimaklumi, karena masing-masing mahasiswa tumbuh di lingkungan yang berbeda.
Kata negarawan ibarat jalan keluar dari sebuah hutan lebat. Sedangkan idealism golongan merupakan kompas yang menunjukkan arah utara. Yang terjadi adalah masing-masing kompas yang dibawa menunjukkan arah utara yang sedikit berbeda. Efeknya, perdebatan tentang idealism menjadi hal yang lumrah terjadi antar organisasi. Dan hal ini mempengaruhi respon masing masing mahasiswa ketika ditanyai tentang negarawan.
Urgensi mengenai perbedaan pendapat ini menjadi semakin tinggi ketika dihadapkan pada pengambilan keputusan mahasiswa. Berbagai golongan kemudian berdebat, mencari kesalahan opini dari golongan lain, dan akhirnya berakhir di meja senat mahasiswa, yang ujung-ujungnya menjadi rancangan kebijakan yang tak kunjung ditetapkan.
Untuk mempermudah pemahaman tulisan saya, mari kita coba melakukan studi kasus terhadap masalah ini.
Misalnya dalam rapat senat mahasiswa UGM yang terdiri dari golongan agamawan, event organizer, mahasiswa oportunis, peneliti, dsb, dilakukan perancangan Anggaran Dasar Organisasi. Dikatakan bahwa organisasi “X” adalah organisasi negarawan muda Indonesia. Organisasi Negarawan muda Indonesia kemudian akan didefinisikan programnya dengan persetujuan semua golongan melalui musyawarah. Akhirnya dari golongan A menyangkut  pautkan tentang kesamaan pemahaman dasar, dari golongan B lebih progresif dengan membuat acara besar, golongan C lebih condong ke pengejaran prestasi akademis internasional, dsb.
Parahnya, terjadi perdebatan yang dipicu ketidaksetujuan antar golongan. Mereka memegang teguh idealisme mereka masing-masing, dan berusaha menunjukkan bahwa jalan pikirannya lah yang paling benar. Tujuannya bisa jadi bukan hanya untuk mendapatkan program yang baik, tapi untuk memperoleh citra sebagai komunitas yang paling benar, paling pintar, dan paling berpengaruh dalam pembangunan kampus atau Negara. Hasilnya, musyawarah deadlock. Kelogisan serta analisis tidak digunakan lagi. Dan kemudian dilakukan voting, dengan hasil yang sudah pasti, komunitas terbesar yang menang. Menurut saya, hal ini benar-benar terjadi di kampus UGM. Penting kah untuk dibahas?
Kebiasaan ini kemudian menjadi budaya. Mahasiswa yang sudah menyelesaikan studi kini menjadi “orang”, dan tetap membawa budaya ini. Hasilnya? Birokrat Negara pun yang dulunya mahasiswa, menerapkan hal ini dalam DPR dan pemerintahan. Deadlock dan voting sudah menjadi hal biasa yang sering kita dengar. Padahal pengambilan keputusan yang seperti ini sangat tidak dianjurkan di kepemimpinan Rasulullah Muhammad SAW. Pemenangnya? Fraksi terbesar pastinya. Efeknya? Pencitraan ke masyarakat. Golongan golongan kecil yang suaranya tidak didengarkan akhirnya berkoalisi demi menjatuhkan tirani golongan mayoritas. Curiga mencurigai pun menjadi tontonan publik yang diumbar di media massa, dan menjadikan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan menjadi menurun.
Singkatnya, kebiasaan mementingkan golongan sudah mendarah daging di Negara ini. Tidak hanya di lingkaran politikus, bahkan hal ini sudah terjadi sejak dalam kehidupan kampus. Padahal Jika ditelaah lebih dalam, sebenarnya tujuan masing-masing golongan sama, yaitu menginginkan perubahan menjadi lebih baik. Namun nafsu untuk menguasai sesuatu yang baik ini pun berujung pada ketidak harmonisan dalam kehidupan berorganisasi, dan juga bernegara. Perebutan kepentingan pun menjadi hal biasa, yang akhirnya “dinikmati” dan menjadi budaya yang harus dilaksanakan. Padahal masih banyak hal yang harus diurusi. Baik itu di lingkungan organisasi mahasiswa, maupun lingkungan bernegara. Tapi kita masih saja stuck mengurusi hal-hal yang tidak perlu diperdebatkan.
Dalam lingkup organisasi/komunitas mahasiswa di UGM, kelakuan para petinggi golongan mahasiswa di kampus ini membuat mahasiswa lain yang lebih menggunakan logika dan analisis menjadi muak. Sama muaknya ketika masyarakat melihat aksi dari anggota DPR dan politikus saling berdebat, yang di sisi lain, memiliki kinerja yang sangat buruk. Citra dari organisasi negarawan ini pun menjadi makin buruk dan tidak menarik lagi untuk diikuti mahasiswa yang dikarenakan  kesan bahwa terjadi banyak konflik internal antar golongan didalamnya, yang menutupi kegiatan – kegiatan positif yang sebenarnya dilakukan oleh para negarawan muda ini.
Hasilnya, mahasiswa yang awalnya ingin mengembangkan diri melalui organisasi kampus ini mengurungkan niatnya, dan tergiur oleh kehidupan hedonis yang ditawarkan oleh perubahan budaya di Indonesia, yang memang lebih nyaman untuk dijalani. Imbasnya, menjadi negarawan bukan lagi menjadi pilihan yang diminati oleh sebagian besar mahasiswa, melainkan menjadi seorang yang materialistis, tergoda oleh rayuan materi para penjajah modern. Sadar tidak sadar, sebagian perusahaan besar di Indonesia ini merupakan perusahaan asing. Bukan berarti kita harus anti asing, tapi setidaknya teliti dan kritis dalam melihat perkembangan pihak asing di Negara ini menjadi harga mati. Jangan sampai sumber daya yang harusnya bisa dikelola anak cucu kita akhirnya habis dikeruk oleh pihak asing.
Menjadi negarawan muda menjadi harga mati bagi mahasiswa yang masih memiliki keinginan menciptakan generasi penerus yang lebih baik dari generasi sekarang. Biarkan saja generasi sebelum kita masih sibuk berdebat tentang golongannya. Karena kita tahu, bahwa anjing belum tentu menggigit selama masih sibuk menggonggong. Mahasiswa pun jangan sampai terseret sistem kaderisasi generasi tua kita yang hasilnya masih jauh dari kata negarawan. Ada baiknya mahasiswa aktif berorganisasi untuk menjadi berguna bagi masyarakat yang tidak mengeyam pendidikan, mengembangkan diri, dan terus menuntut ilmu untuk menemukan kebenaran, tanpa harus larut dalam budaya mementingkan golongan yang merupakan produk gagal dari generasi sebelum kita.

Negarawan muda adalah orang yang mencintai Negara nya, menuntut ilmu agar dapat digunakan untuk membangun Negara. Turun ke jalan melawan suatu kebijakan tidak masalah, asalkan berdasarkan kajian, dan data. Menuntut ilmu demi menemukan kebenaran menjadi prioritas utama. Tidak hanya jago kandang, tapi juga berani menunjukkan prestasi di depan Negara lain, bangga dengan negaranya sendiri, tidak mengindentikkan budaya asing dengan “modern” dan budaya bumi pertiwi dengan “zaman dulu”, dan yang paling penting adalah tidak menonjolkan perbedaan golongan, tapi mengedepankan kesamaan, cita cita luhur, dan mimpi kita semua, yaitu Indonesia berdaulat. Mampu mengelola sumber daya dalam negeri sendiri, tidak dibodohi lagi oleh pihak mana pun, dan menjadi kotributor dalam perkembangan peradaban di dunia.