Jumat, 28 Februari 2014

Track1 - Kata mereka, mereka mahasiswa negarawan

Definisi negarawan muda Indonesia menjadi sulit diartikan ketika kita melihat dari sudut pandang mahasiswa zaman sekarang. Padahal idealnya, mahasiswa merupakan sosok terpelajar. Pernyataan saya ini bukan berarti merendahkan tingkat intelektual mahasiswa zaman sekarang, tapi yang saya perhatikan adalah terjadinya banyak kerancuan dalam pemikiran mahasiswa. Mengapa tidak? Zaman sekarang banyak media informasi yang dapat diakses dengan mudah dan gratis oleh para mahasiswa, yang mungkin belum jelas kebenarannya, sehingga mahasiswa seringkali memilih opsi yang paling mudah dan nyaman untuk diri mereka sendiri.
Kembali lagi ke pernyataan awal saya. Berbagai macam pola pikir mahasiswa muncul, sehingga sulit mendefinisikan maksud kata negarawan. Kita tahu bahwa istilah seperti ini tidak diajarkan di dunia perkuliahan. Dan, kebanyakan mahasiswa mengenal istilah ini dari kegiatan diluar akademik, termasuk dari komunitas. Yang terjadi di lapangan adalah, perbedaan pemikiran-pemikiran dan idealism golongan menjadi hal yang sangat menonjol di komunitas mahasiswa. Hal ini dapat dimaklumi, karena masing-masing mahasiswa tumbuh di lingkungan yang berbeda.
Kata negarawan ibarat jalan keluar dari sebuah hutan lebat. Sedangkan idealism golongan merupakan kompas yang menunjukkan arah utara. Yang terjadi adalah masing-masing kompas yang dibawa menunjukkan arah utara yang sedikit berbeda. Efeknya, perdebatan tentang idealism menjadi hal yang lumrah terjadi antar organisasi. Dan hal ini mempengaruhi respon masing masing mahasiswa ketika ditanyai tentang negarawan.
Urgensi mengenai perbedaan pendapat ini menjadi semakin tinggi ketika dihadapkan pada pengambilan keputusan mahasiswa. Berbagai golongan kemudian berdebat, mencari kesalahan opini dari golongan lain, dan akhirnya berakhir di meja senat mahasiswa, yang ujung-ujungnya menjadi rancangan kebijakan yang tak kunjung ditetapkan.
Untuk mempermudah pemahaman tulisan saya, mari kita coba melakukan studi kasus terhadap masalah ini.
Misalnya dalam rapat senat mahasiswa UGM yang terdiri dari golongan agamawan, event organizer, mahasiswa oportunis, peneliti, dsb, dilakukan perancangan Anggaran Dasar Organisasi. Dikatakan bahwa organisasi “X” adalah organisasi negarawan muda Indonesia. Organisasi Negarawan muda Indonesia kemudian akan didefinisikan programnya dengan persetujuan semua golongan melalui musyawarah. Akhirnya dari golongan A menyangkut  pautkan tentang kesamaan pemahaman dasar, dari golongan B lebih progresif dengan membuat acara besar, golongan C lebih condong ke pengejaran prestasi akademis internasional, dsb.
Parahnya, terjadi perdebatan yang dipicu ketidaksetujuan antar golongan. Mereka memegang teguh idealisme mereka masing-masing, dan berusaha menunjukkan bahwa jalan pikirannya lah yang paling benar. Tujuannya bisa jadi bukan hanya untuk mendapatkan program yang baik, tapi untuk memperoleh citra sebagai komunitas yang paling benar, paling pintar, dan paling berpengaruh dalam pembangunan kampus atau Negara. Hasilnya, musyawarah deadlock. Kelogisan serta analisis tidak digunakan lagi. Dan kemudian dilakukan voting, dengan hasil yang sudah pasti, komunitas terbesar yang menang. Menurut saya, hal ini benar-benar terjadi di kampus UGM. Penting kah untuk dibahas?
Kebiasaan ini kemudian menjadi budaya. Mahasiswa yang sudah menyelesaikan studi kini menjadi “orang”, dan tetap membawa budaya ini. Hasilnya? Birokrat Negara pun yang dulunya mahasiswa, menerapkan hal ini dalam DPR dan pemerintahan. Deadlock dan voting sudah menjadi hal biasa yang sering kita dengar. Padahal pengambilan keputusan yang seperti ini sangat tidak dianjurkan di kepemimpinan Rasulullah Muhammad SAW. Pemenangnya? Fraksi terbesar pastinya. Efeknya? Pencitraan ke masyarakat. Golongan golongan kecil yang suaranya tidak didengarkan akhirnya berkoalisi demi menjatuhkan tirani golongan mayoritas. Curiga mencurigai pun menjadi tontonan publik yang diumbar di media massa, dan menjadikan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan menjadi menurun.
Singkatnya, kebiasaan mementingkan golongan sudah mendarah daging di Negara ini. Tidak hanya di lingkaran politikus, bahkan hal ini sudah terjadi sejak dalam kehidupan kampus. Padahal Jika ditelaah lebih dalam, sebenarnya tujuan masing-masing golongan sama, yaitu menginginkan perubahan menjadi lebih baik. Namun nafsu untuk menguasai sesuatu yang baik ini pun berujung pada ketidak harmonisan dalam kehidupan berorganisasi, dan juga bernegara. Perebutan kepentingan pun menjadi hal biasa, yang akhirnya “dinikmati” dan menjadi budaya yang harus dilaksanakan. Padahal masih banyak hal yang harus diurusi. Baik itu di lingkungan organisasi mahasiswa, maupun lingkungan bernegara. Tapi kita masih saja stuck mengurusi hal-hal yang tidak perlu diperdebatkan.
Dalam lingkup organisasi/komunitas mahasiswa di UGM, kelakuan para petinggi golongan mahasiswa di kampus ini membuat mahasiswa lain yang lebih menggunakan logika dan analisis menjadi muak. Sama muaknya ketika masyarakat melihat aksi dari anggota DPR dan politikus saling berdebat, yang di sisi lain, memiliki kinerja yang sangat buruk. Citra dari organisasi negarawan ini pun menjadi makin buruk dan tidak menarik lagi untuk diikuti mahasiswa yang dikarenakan  kesan bahwa terjadi banyak konflik internal antar golongan didalamnya, yang menutupi kegiatan – kegiatan positif yang sebenarnya dilakukan oleh para negarawan muda ini.
Hasilnya, mahasiswa yang awalnya ingin mengembangkan diri melalui organisasi kampus ini mengurungkan niatnya, dan tergiur oleh kehidupan hedonis yang ditawarkan oleh perubahan budaya di Indonesia, yang memang lebih nyaman untuk dijalani. Imbasnya, menjadi negarawan bukan lagi menjadi pilihan yang diminati oleh sebagian besar mahasiswa, melainkan menjadi seorang yang materialistis, tergoda oleh rayuan materi para penjajah modern. Sadar tidak sadar, sebagian perusahaan besar di Indonesia ini merupakan perusahaan asing. Bukan berarti kita harus anti asing, tapi setidaknya teliti dan kritis dalam melihat perkembangan pihak asing di Negara ini menjadi harga mati. Jangan sampai sumber daya yang harusnya bisa dikelola anak cucu kita akhirnya habis dikeruk oleh pihak asing.
Menjadi negarawan muda menjadi harga mati bagi mahasiswa yang masih memiliki keinginan menciptakan generasi penerus yang lebih baik dari generasi sekarang. Biarkan saja generasi sebelum kita masih sibuk berdebat tentang golongannya. Karena kita tahu, bahwa anjing belum tentu menggigit selama masih sibuk menggonggong. Mahasiswa pun jangan sampai terseret sistem kaderisasi generasi tua kita yang hasilnya masih jauh dari kata negarawan. Ada baiknya mahasiswa aktif berorganisasi untuk menjadi berguna bagi masyarakat yang tidak mengeyam pendidikan, mengembangkan diri, dan terus menuntut ilmu untuk menemukan kebenaran, tanpa harus larut dalam budaya mementingkan golongan yang merupakan produk gagal dari generasi sebelum kita.

Negarawan muda adalah orang yang mencintai Negara nya, menuntut ilmu agar dapat digunakan untuk membangun Negara. Turun ke jalan melawan suatu kebijakan tidak masalah, asalkan berdasarkan kajian, dan data. Menuntut ilmu demi menemukan kebenaran menjadi prioritas utama. Tidak hanya jago kandang, tapi juga berani menunjukkan prestasi di depan Negara lain, bangga dengan negaranya sendiri, tidak mengindentikkan budaya asing dengan “modern” dan budaya bumi pertiwi dengan “zaman dulu”, dan yang paling penting adalah tidak menonjolkan perbedaan golongan, tapi mengedepankan kesamaan, cita cita luhur, dan mimpi kita semua, yaitu Indonesia berdaulat. Mampu mengelola sumber daya dalam negeri sendiri, tidak dibodohi lagi oleh pihak mana pun, dan menjadi kotributor dalam perkembangan peradaban di dunia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar