Definisi negarawan muda Indonesia
menjadi sulit diartikan ketika kita melihat dari sudut pandang mahasiswa zaman
sekarang. Padahal idealnya, mahasiswa merupakan sosok terpelajar. Pernyataan
saya ini bukan berarti merendahkan tingkat intelektual mahasiswa zaman
sekarang, tapi yang saya perhatikan adalah terjadinya banyak kerancuan dalam
pemikiran mahasiswa. Mengapa tidak? Zaman sekarang banyak media informasi yang
dapat diakses dengan mudah dan gratis oleh para mahasiswa, yang mungkin belum
jelas kebenarannya, sehingga mahasiswa seringkali memilih opsi yang paling
mudah dan nyaman untuk diri mereka sendiri.
Kembali lagi ke pernyataan awal saya.
Berbagai macam pola pikir mahasiswa muncul, sehingga sulit mendefinisikan maksud
kata negarawan. Kita tahu bahwa istilah seperti ini tidak diajarkan di dunia
perkuliahan. Dan, kebanyakan mahasiswa mengenal istilah ini dari kegiatan
diluar akademik, termasuk dari komunitas. Yang terjadi di lapangan adalah,
perbedaan pemikiran-pemikiran dan idealism golongan menjadi hal yang sangat
menonjol di komunitas mahasiswa. Hal ini dapat dimaklumi, karena masing-masing
mahasiswa tumbuh di lingkungan yang berbeda.
Kata negarawan ibarat jalan keluar
dari sebuah hutan lebat. Sedangkan idealism golongan merupakan kompas yang
menunjukkan arah utara. Yang terjadi adalah masing-masing kompas yang dibawa
menunjukkan arah utara yang sedikit berbeda. Efeknya, perdebatan tentang
idealism menjadi hal yang lumrah terjadi antar organisasi. Dan hal ini
mempengaruhi respon masing masing mahasiswa ketika ditanyai tentang negarawan.
Urgensi mengenai perbedaan pendapat
ini menjadi semakin tinggi ketika dihadapkan pada pengambilan keputusan
mahasiswa. Berbagai golongan kemudian berdebat, mencari kesalahan opini dari
golongan lain, dan akhirnya berakhir di meja senat mahasiswa, yang
ujung-ujungnya menjadi rancangan kebijakan yang tak kunjung ditetapkan.
Untuk mempermudah pemahaman tulisan
saya, mari kita coba melakukan studi kasus terhadap masalah ini.
Misalnya dalam rapat senat mahasiswa
UGM yang terdiri dari golongan agamawan, event organizer, mahasiswa oportunis,
peneliti, dsb, dilakukan perancangan Anggaran Dasar Organisasi. Dikatakan bahwa
organisasi “X” adalah organisasi negarawan muda Indonesia. Organisasi Negarawan
muda Indonesia kemudian akan didefinisikan programnya dengan persetujuan semua
golongan melalui musyawarah. Akhirnya dari golongan A menyangkut pautkan tentang kesamaan pemahaman dasar,
dari golongan B lebih progresif dengan membuat acara besar, golongan C lebih
condong ke pengejaran prestasi akademis internasional, dsb.
Parahnya, terjadi perdebatan yang
dipicu ketidaksetujuan antar golongan. Mereka memegang teguh idealisme mereka
masing-masing, dan berusaha menunjukkan bahwa jalan pikirannya lah yang paling
benar. Tujuannya bisa jadi bukan hanya untuk mendapatkan program yang baik,
tapi untuk memperoleh citra sebagai komunitas yang paling benar, paling pintar,
dan paling berpengaruh dalam pembangunan kampus atau Negara. Hasilnya, musyawarah
deadlock. Kelogisan serta analisis tidak digunakan lagi. Dan kemudian dilakukan
voting, dengan hasil yang sudah pasti, komunitas terbesar yang menang. Menurut
saya, hal ini benar-benar terjadi di kampus UGM. Penting kah untuk dibahas?
Kebiasaan ini kemudian menjadi
budaya. Mahasiswa yang sudah menyelesaikan studi kini menjadi “orang”, dan
tetap membawa budaya ini. Hasilnya? Birokrat Negara pun yang dulunya mahasiswa,
menerapkan hal ini dalam DPR dan pemerintahan. Deadlock dan voting sudah
menjadi hal biasa yang sering kita dengar. Padahal pengambilan keputusan yang
seperti ini sangat tidak dianjurkan di kepemimpinan Rasulullah Muhammad SAW.
Pemenangnya? Fraksi terbesar pastinya. Efeknya? Pencitraan ke masyarakat. Golongan
golongan kecil yang suaranya tidak didengarkan akhirnya berkoalisi demi
menjatuhkan tirani golongan mayoritas. Curiga mencurigai pun menjadi tontonan
publik yang diumbar di media massa, dan menjadikan tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap kinerja pemerintahan menjadi menurun.
Singkatnya, kebiasaan mementingkan
golongan sudah mendarah daging di Negara ini. Tidak hanya di lingkaran
politikus, bahkan hal ini sudah terjadi sejak dalam kehidupan kampus. Padahal Jika
ditelaah lebih dalam, sebenarnya tujuan masing-masing golongan sama, yaitu
menginginkan perubahan menjadi lebih baik. Namun nafsu untuk menguasai sesuatu
yang baik ini pun berujung pada ketidak harmonisan dalam kehidupan
berorganisasi, dan juga bernegara. Perebutan kepentingan pun menjadi hal biasa,
yang akhirnya “dinikmati” dan menjadi budaya yang harus dilaksanakan. Padahal
masih banyak hal yang harus diurusi. Baik itu di lingkungan organisasi
mahasiswa, maupun lingkungan bernegara. Tapi kita masih saja stuck mengurusi hal-hal yang tidak perlu
diperdebatkan.
Dalam lingkup organisasi/komunitas
mahasiswa di UGM, kelakuan para petinggi golongan mahasiswa di kampus ini
membuat mahasiswa lain yang lebih menggunakan logika dan analisis menjadi muak.
Sama muaknya ketika masyarakat melihat aksi dari anggota DPR dan politikus
saling berdebat, yang di sisi lain, memiliki kinerja yang sangat buruk. Citra
dari organisasi negarawan ini pun menjadi makin buruk dan tidak menarik lagi
untuk diikuti mahasiswa yang dikarenakan
kesan bahwa terjadi banyak konflik internal antar golongan didalamnya,
yang menutupi kegiatan – kegiatan positif yang sebenarnya dilakukan oleh para
negarawan muda ini.
Hasilnya, mahasiswa yang awalnya
ingin mengembangkan diri melalui organisasi kampus ini mengurungkan niatnya,
dan tergiur oleh kehidupan hedonis yang ditawarkan oleh perubahan budaya di
Indonesia, yang memang lebih nyaman untuk dijalani. Imbasnya, menjadi negarawan
bukan lagi menjadi pilihan yang diminati oleh sebagian besar mahasiswa,
melainkan menjadi seorang yang materialistis, tergoda oleh rayuan materi para
penjajah modern. Sadar tidak sadar, sebagian perusahaan besar di Indonesia ini
merupakan perusahaan asing. Bukan berarti kita harus anti asing, tapi
setidaknya teliti dan kritis dalam melihat perkembangan pihak asing di Negara
ini menjadi harga mati. Jangan sampai sumber daya yang harusnya bisa dikelola
anak cucu kita akhirnya habis dikeruk oleh pihak asing.
Menjadi negarawan muda menjadi harga
mati bagi mahasiswa yang masih memiliki keinginan menciptakan generasi penerus
yang lebih baik dari generasi sekarang. Biarkan saja generasi sebelum kita
masih sibuk berdebat tentang golongannya. Karena kita tahu, bahwa anjing belum
tentu menggigit selama masih sibuk menggonggong. Mahasiswa pun jangan sampai
terseret sistem kaderisasi generasi tua kita yang hasilnya masih jauh dari kata
negarawan. Ada baiknya mahasiswa aktif berorganisasi untuk menjadi berguna bagi
masyarakat yang tidak mengeyam pendidikan, mengembangkan diri, dan terus
menuntut ilmu untuk menemukan kebenaran, tanpa harus larut dalam budaya
mementingkan golongan yang merupakan produk gagal dari generasi sebelum kita.
Negarawan muda adalah orang yang
mencintai Negara nya, menuntut ilmu agar dapat digunakan untuk membangun Negara.
Turun ke jalan melawan suatu kebijakan tidak masalah, asalkan berdasarkan
kajian, dan data. Menuntut ilmu demi menemukan kebenaran menjadi prioritas
utama. Tidak hanya jago kandang, tapi juga berani menunjukkan prestasi di depan Negara lain, bangga dengan
negaranya sendiri, tidak mengindentikkan budaya asing dengan “modern” dan
budaya bumi pertiwi dengan “zaman dulu”, dan yang paling penting adalah tidak
menonjolkan perbedaan golongan, tapi mengedepankan kesamaan, cita cita luhur,
dan mimpi kita semua, yaitu Indonesia berdaulat. Mampu mengelola sumber daya
dalam negeri sendiri, tidak dibodohi lagi oleh pihak mana pun, dan menjadi
kotributor dalam perkembangan peradaban di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar